Kamis, 10 Desember 2015

01.00.00

Seorang remaja tanggung terlihat berjalan dengan langkah gontai di ujung tanjakan curam yang cukup panjang, rasa lelah yang sudah hampir mencapai batas terlihat jelas dalam ekspresi raut wajahnya. Namun ada sedikit rasa lega yang nampak ia rasa sesaat setelah tiba di shelter peristirahatan.

Seperti seekor elang yang sedang kelaparan, ia edarkan pandangan ke setiap penjuru shelter yang berisi banyak kawanan pendaki yang sedang beristirahat. Beberapa detik kemudian, ia berhasil menemukan apa yang dicari, dengan langkah yang masih agak gontai, segera saja ia berjalan menghampiri temannya yang sejak tadi sudah lebih dulu beristirahat di tempat ini.

Joni (bukan nama sebenarnya) yang tampak sudah sangat kepayahan, langsung mendaratkan pantatnya di permukaan tanah datar tempat dimana temannya beristirahat. Tempat itu cukup teduh dan nyaman karena terlindung oleh tanaman khas kawasan dekat puncak pegunungan yang  membentuk semak belukar di sekitar.

Robi (juga bukan nama sebenarnya) yang sejak tadi memang menunggu Joni, kemudian menawarkan sebotol air yang tinggal terisi setengah. Dengan sigap, Joni pun segera menyambar botol air tersebut. Tanpa aba-aba, ia langsung menghabiskan air dalam botol dalam sekali tegukan yang Nampak menyegarkan.

Beberapa saat kemudian, entah apa yang ada di pikiran Joni, mungkin dia lelah, atau mungkin sedang galau, setelah meminum habis air yang tersisa dalam botol, dengan wajah tak berdosa, kemudian ia melempar begitu saja, sampah botol plastik tersebut ke arah semak belukar. Melihat kelakuan temannya tersebut, kontan Robi marah.

 “Eh, kampret! Seenaknya aja lo buang sampah sembarangan! Ambil lagi cepet! Malu-maluin aja!
Kaget melihat reaksi temannya yang tiba-tiba marah, Joni yang nampaknya memang lebih junior dari Robi, kemudian dengan cepat segera mengambil kembali sampah yang barusan ia buang dengan seenaknya. Kemudian dengan ekspresi agak malu, Joni segera meminta maaf pada Robi atas kesalahan yang ia perbuat.

Secuil cerita di atas saya saksikan secara langsung saat sedang beristirahat di sebuah shelter dekat Goa Walet pada jalur pendakian Gunung Ciremai. Melihat adegan ini, saya jadi senyum-senyum sendiri, teringat pengalaman yang sama saat dulu dimarahi seorang pendaki senior karena membuang sampah dengan seenaknya.

Cerita ini juga kemudian menjadi bahan renungan bagi saya, betapa masih banyak pendaki-pendaki nakal serupa Joni yang tega mengotori gunung dengan perbuatan-perbuatan bodohnya, betapa masih tipis lapisan kepedulian kita pada upaya untuk menjaga kelestarian alam.

***

Melihat fakta yang ada, saya bisa bilang, sekarang ini, mendaki gunung telah menjadi cukup mudah untuk dilakukan oleh siapa saja. Dengan kondisi dimana banyak hal yang kini telah menjadi serba mudah, terutama untuk akses informasi dan transportasi, asalkan ada uang, ada peralatan, ada waktu, dan ada kemauan, rasanya, kini siapa pun bisa dengan mudah pergi untuk mendaki gunung.

Dan seperti apa yang kita bisa lihat bersama, animo masyarakat terhadap kegiatan mendaki gunung, kian hari kian tinggi, setiap akhir pekan, gunung-gunung kini dipenuhi banyak pengunjung. Hal ini tentu menjadi fenomena yang sangat positif untuk perkembangan dunia pariwisata negeri ini, khususnya wisata minat khusus petualangan. Pemerintah dan masyarakat setempat sangat diuntungkan dengan tingginya animo masyarakat terhadap kegiatan pendakian gunung. Namun, disamping dampak positif yang dibawa, ada pula hal-hal negative yang harus menjadi perhatian kita bersama.

Karena berbagai kemudahan itu, justru kini semakin banyak orang yang mendaki dengan asal, tanpa peduli pada tanggungjawab yang harus diemban oleh setiap pendaki gunung yang berposisi sebagai tamu di alam bebas, baik itu tanggungjawab terhadap diri sendiri, orang lain, maupun alam sekitar.


Di satu waktu, saya pernah bertemu beberapa orang pendaki yang tampak tidak mempersiapkan kebutuhan perbekalan dengan baik. Mereka terlihat sangat bingung karena kehabisan persediaan air di tengah perjalanan. Akhirnya, karena terpaksa, mereka kemudian memberanikan diri meminta persediaan air pada pendaki lain. Beruntung saat itu ada pendaki lain yang meski terlihat agak sedikit kesal, namun dengan baik hati rela membagi persediaan airnya.

Kemudian, di lain waktu, saya sempat harus meminjamkan peralatan memasak kepada sekawanan pendaki yang saat itu meminta bantuan. Entah apa sebabnya, saat itu mereka membawa banyak bahan makanan, namun tidak membawa peralatan memasak. Saya yang saat itu hendak berniat memasak air untuk menyeduh kopi, akhirnya memilih menunda keinginan tersebut dan meminjamkan peralatan memasak saya, karena kasihan melihat mereka yang nampak kelaparan.

Heran juga melihat kejadian-kejadian seperti ini, bukan bermaksud untuk menyerang kelompok tertentu, namun saya pikir mereka kurang memahami tentang betapa pentingnya persiapan saat hendak melakukan pendakian, sehingga kemudian teledor melakukan kesalahan-kesalahan tersebut, yang akhirnya berujung merepotkan pendaki lain.

Beruntung karena masih ada pendaki lain yang masih mau menolong, coba bayangkan kalau tidak ada yang bisa dimintai pertolongan, sudah pasti bakal sengsara, celaka, dan parahnya bisa saja sampai membahayakan keselamatan.

Contoh kasus lain, di satu waktu, sesaat setelah sampai di sebuah puncak gunung, saya agak miris juga melihat berlembar-lembar kertas yang ditinggalkan berserakan begitu saja di sembarang tempat. Sebagian anda yang terbang diangkasa karena tertiup angin kencang.

Alasannya mungkin saja karena mereka menganggap kertas adalah sampah organik yang mudah diurai oleh alam, sehingga dengan seenaknya bisa ditinggalkan begitu saja. Namun, apapun alasannya, yang namanya sampah, tetaplah sampah bung!

Pertama, sampah kertas itu jelas-jelas telah berkontribusi mengotori pemandangan alam sekitar, dan yang kedua, kertas bertulis tersebut adalah bawaan manusia, meski statusnya adalah bahan organic, perlu untuk diingat, setiap barang yang kita tinggalkan sedikit banyak akan berpengaruh terhadap lingkungan alam sekitar.

 Contoh absurdnya, misalkan gara-gara banyak kertas berserakan, sekawanan babi hutan kemudian tergiur untuk coba memakannya, dan lalu mereka jadi ketagihan, akhirnya si babi tak mau lagi makan makanan yang ada di hutan, karena dia cuma mau makan kertas. Saat itu terjadi, berarti kita telah ikut berperan memberi dampak buruk pada ekosistem alam liar. Betapa setiap hal yang kita tinggalkan akan selalu memberi dampak pada alam. Always leave nothing but footprints, guys!

Untuk kasus pendaki yang malas membawa turun sampahnya, saya memang tidak pernah melihat secara langsung adegan pendaki yang dengan sengaja sedang meninggalkan sampahnya begitu saja. Namun, dengan melihat bukti berupa onggokan-onggokan sampah yang banyak bertebaran di shelter-shelter pendakian saja, saya bisa menyimpulkan bahwa pendaki tak bertanggungjawab seperti ini masih banyak berkeliaran di luar sana.

Jika kelakuan-kelakuan tak bertanggungjawab seperti itu terus mendapat pembiaran, akan jadi seperti apa wajah dunia pendakian di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan? Akan serusak apa gunung-gunung Indonesia dalam beberapa tahun ke depan?

Saya yakin, tak ada satupun pendaki yang tak pernah melakukan kesalahan, semua orang berawal dari menjadi pemula, dan saat itu, kita pasti banyak melakukan kesalahan. Namun, dari sana kita bisa belajar untuk berubah menjadi lebih baik dan lebih bertanggungjawab, minimal terhadap diri kita sendiri dulu lah. Jangan sampai, kesalahan yang kita buat saat melakukan persiapan malah merugikan orang lain dan membahayakan keselamatan diri kita.

Kemudian, sebagai seorang penikmat alam yang baik, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk sama-sama menjaga kelestarian alam. Upaya yang dilakukan bisa dimulai dari hal sederhana seperti tidak ikut menyumbang sampah atau kerusakan pada gunung-gunung yang kita daki.


Dari mendaki gunung, kita mendapat banyak manfaat, entah itu berupa pengalaman menyenangkan, kenangan-kenangan manis, atau banyak pelajaran berharga, yang jelas gunung sudah banyak berbuat baik kepada kita. Jika gunung saja sudah demikian banyak berbuat baik pada kita, lalu apakah kita sudah berbuat baik juga terhadap gunung-gunung yang kita daki?

***

Sedikit ulasan tentang prinsip leave no trace


Sedikit banyak, aktivitas manusia yang dilakukan di alam bebas tentu akan menghasilkan dampak yang menimbulkan perubahan, yang terjadi seringnya merupakan perubahan buruk yang menjurus kepada kerusakan. Berangkat dari isu tersebut, demi meminimalisir dampak yang dihasilkan, para penggiat alam bebas dunia kemudian menciptakan aturan atau etika berkegiatan di alam bebas yang dikenal dengan prinsip Leave no Trace.

Menurut Wikipedia, Leave no Trace merujuk pada sekumpulan etika berkegiatan di alam bebas yang mendukung upaya konservasi kelestarian alam. Etika-etika ini terbagi kedalam 7 prinsip dasar.

  1. plan ahead and prepare,
  2. travel and camp on durable surfaces,
  3. dispose of waste properly,
  4. leave what you find,
  5. minimize campfire impacts,
  6. respect wildlife,
  7. be considerate of other visitors.

Ketujuh poin di atas biasa diterapkan oleh para pelaku aktivitas yang berhubungan langsung dengan alam bebas, termasuk aktivitas pendakian gunung.

Seorang penggiat alam yang baik akan selalu menjadikan ketujuh prinsip di atas sebagai bekal utama saat hendak melakukan aktivitas di alam bebas, yang dalam konteks tulisan ini saya khususkan pada aktivitas mendaki gunung.

Jika semua penggiat alam di Indonesia telah menerapkan ketujuh prinsip dasar tersebut dengan sangat baik, saya percaya, kerusakan yang ditimbulkan oleh para petualang terhadap gunung-gunung indah di negeri ini akan dapat diminimalisir, sehingga kelestariannya tetap dapat terjaga hingga bisa dinikmati pula oleh beberapa generasi setelah kita.

Demi terjaganya kelestarian alam Indonesia, mari bersama-sama berusaha untuk menjadi pendaki bertanggungjawab yang selain memahami berbagai pengetahuan dan kemampuan dasar mendaki gunung, juga peduli pada upaya menjaga kelestarian alam. Karena jika bukan kita, siapa lagi mau peduli?

Semoga bermanfaat, salam rimba!

0 komentar:

Posting Komentar