Rabu, 30 Desember 2009

Jalur Pendakian Gunung Gede Pangrango Ditutup Sementara


Aparat Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) akan menutup jalur pendakian ke puncak Gunung Gede yang memiliki ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan puncak Gunung Pangrango 3.019 mdpl.

"Penutupan dilakukan dalam rangka pemulihan ekosistem di kawasan konservasi selama tiga bulan mulai 1 Januari-31 Maret 2010," kata Kepala Balai Besar TNGGP Sumarto Suharno, di Sukabumi, Senin (21/12/2009).

Selain untuk pemulihan ekosistem di dalam kawasan konservasi, juga untuk mengantisipasi musim hujan disertai angin kencang yang akan membahayakan para pendaki.

"Penutupan pendakian gunung tersebut sudah rutin dilaksanakan setiap tahun. Diharapkan dengan adanya penutupan khusus wisata pendakian gunung kawasan dapat pulih dengan sendirinya," ujarnya.

Mengantisipasi adanya pendaki tak berizin, menurut Sumarto, pihaknya menerjunkan sebanyak 134 orang petugas, yang terdiri dari polisi hutan (polhut) sebanyak 42 orang, SAR 30 orang, Forum Interpreter dan Sukarelawan (volunteer) 36 orang, dan Pam Swakarsa sebanyak 26 orang.

"Para petugas akan melakukan pengawasan di setiap jalur pendakian. Bagi pendaki yang membandel akan dikenakan sanksi," tuturnya.

Sanksinya, berdasarkan Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 1990 tentang Kawasan Konservasi, berupa ancaman pidana maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Menurut Sumarto, kawasan konservasi Gede Pangrango merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terbaik di Pulau Jawa dan merupakan salah satu dari lima taman nasional (TN) tertua di Indonesia.

Salah satu fungsi ekosistem taman nasional ini, kata dia, adalah sebagai sistem penyangga kehidupan, antara lain, sebagai pengatur tata air bagi daerah di sekitar kawasan hingga daerah hilir.

Kelestarian fungsi dari ekosistem mutlak dijaga karena secara langsung ataupun tidak langsung akan sangat berpengaruh bagi kehidupan di kawasan sekitarnya, seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Cianjur, dan Sukabumi.

Untuk kegiatan rekreasi harian dan berkemah di bumi perkemahan (buper) dapat dilakukan sesuai dengan lokasi yang telah ditentukan, antara lain, Resor Cibodas, Resor Gunung Putri, Resor Selabintana, Resor Situgunung, Resor Bodogol, dan Resor Cisarua.

Sumber : Regional.compas.com
Selasa, 08 Desember 2009

Catper Kiriman : Pendakian Gunung Raung

Gunung Raung, gunung berketinggian 3332mdpl terletak di kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Gunung ini berada dalam kawasan komplek pegunungan ijen bersama Gn.Suket (2.950mdpl), Gn.Pendil (2.338), Gn.Rante (2.664), Gn.Merapi (2.800), Gn.Remuk (2.092), dan Kawah Ijen. Salah satu yang menarik dari gunung raung adalah puncak sejatinya, meski belum banyak yang pendaki yang berhasil menjejakkan kakinya di puncak sejati ini. Salah seorang kawan kita, Dipurnama, yang beberapa waktu lalu berkesempatan melakukan pendakian ke gunung Raung melalui jalur normal, sumber wringin, berbaik hati mengisahkan catatan perjalanannya untuk berbagi bersama kita, selamat menikmati..


Catper Pendakian Gunung Raung
Oleh : Dipurnama

Baru sehari datang dari Kalimantan, seorang teman mengajakku naik ke Gunung Raung. Yah meski rasa capek itu belum hilang sepenuhnya, saya ikuti saja ajakan dia. Siang itu sepulang kuliah saya persiapkan segala macam perlengkapan yang akan saya bawa ke raung. Karena di sepanjang jalur pendakian Gunung Raung tidak tersedia sumber air, maka disarankan masing-masing pendaki untuk membawa 5 liter air. Setelah semuanya fix, akhirnya kami berempat yaitu saya, candra, yoga dan mat lim akhirnya yang berangkat ke Gunung Raung.

Rencana awal yang berangkat jam 5 sore molor hingga selepas maghrib kami baru berangkat dari Jember. Sekitar jam 8 malam kami sampai di kecamatan Sumber Wringin, disana kami harus mengurus ijin pendakian di sebuah rumah peninggalan Belanda yang terlihat antik. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke desa terakhir. Setelah menitipkan sepeda motor, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Pondok Motor. Sepanjang perjalanan kami tidak dapat melihat apapun karena gelap. Sekitar jam ½ 11 malam kami tiba di pertigaan sebelum Pondok Motor. Dari pertigaan itu untuk ke pondok motor masih sekitar 45 menit lagi. Sekitar jam ½ 12 kami sampai di Pondok Motor (sekitar 1100 mdpl). Istirahat sejenak lalu perjalanan kami lanjutkan kembali. Karena malam sudah semakin larut, kami putuskan untuk mendirikan tenda (jarak dari pondok motor sekitar ½ jam).

Jum’at 20 maret 2009
Bangun pagi, packing perlengkapan, tenaga telah pulih kembali. Pagi yang cerah membuat puncak gunung raung terlihat dari kejauhan. Jam 5 kami mulai pendakian melewati semak belukar setinggi dada orang dewasa. Tak lama kemudian kami mulai memasuki kawasan hutan hujan lereng raung yang sangat lebat. Setelah berjalan beberapa saat, kami tiba di persimpangan, ke kiri untuk ke Gunung Suket dan ke kanan untuk ke Gunung Raung. Semakin masuk ke hutan jalur semakin lebat oleh semak belukar dan pohon-pohon tumbang, sehingga kami terkadang harus merangkak untuk melewatinya. Sempat istirahat beberapa kali untuk memulihkan tenaga dan nafas. Sampai di daerah agak terbuka, kami masak makanan untuk sarapan pagi. Nasi + sarden cukup mengembalikan stamina kami yang agak terkuras habis. Panjangnya jalur membuat kami sempat putus asa karena tidak kunjung menemukan pondok sumur.

Tapi sekitar jam 11.50 kami tiba di pondok sumur (sekitar 1800 mdpl). Huffh,….kabut sudah mulai turun, hujan gerimis serta stamina yang sudah hampir habis membuat saya tidak kuat untuk berjalan lagi. Karena hujan semakin lebat dan kabut sudah turun, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di jalur antara pondok sumur dengan pondok tonyok. Tempatnya cukup datar meski tidak terlalu luas. Dirikan tenda, menyiapkan roti dan susu untuk mengganjal perut. Saya yang sudah terlalu capek karena belum sempat istirahat setelah tiba dari kalimantan tertidur hingga menjelang jam 7 malam. Setelah makan malam, kami briefing apakah perjalanan dilanjutkan malam ini atau besok pagi. Karena senter yang ada tidak cukup terang, maka diputuskan bahwa perjalanan dilanjutkan besok pagi.

sabtu 21 maret 2009
Jam 4 pagi kami mulai membereskan tenda dan segala perlengkapan ke dalam tas untuk melanjutkan perjalanan kembali. Setelah matahari agak menyingsing perjalanan kami lanjutkan. Jalur masih berupa hutan yang lebat dengan jalur yang semakin menanjak. Setelah berjalan sekitar 1 ½ jam, tibalah kami di pondok tonyok. Pondok tonyok adalah tanah agak lapang dengan pohon agak besar di pinggirnya. Istirahat dulu sebentar disini. Setelah capeknya agak berkurang, perjalanan kami lanjutkan kembali. Dari sini puncak gunung raung sudah mulai terlihat semakin dekat. Semakin menambah semangat kami untuk mencapainya. Dari pondok tonyok ke pondok demit jalannya semakin menanjak dan lebat dengan semak belukar dan pohon-pohon tumbang. Jarak pondok tonyok ke pondok demit relatif dekat.

Hanya sekitar 1 jam, kami sampai di pondok demit sekitar jam 7. Istirahat sebentar disini sambil minum 3 sloki air. Pondok demit merupakan tanah agak lapang dengan gubuk reyot diatasnya. Setelah dirasa cukup, perjalanan kami lanjutkan kembali ke pondok mayit. Dari pondok demit jalurnya semakin menanjak dan menguras tenaga. Kami yang menghemat air menggunakan kanebo untuk meresap air embun dari dedaunan yang nantinya dapat kami minum. Keluar dari hutan hujan, kami disambut dengan hutan cemara yang tanaman disekitarnya telah terbakar (entah karena ulah manusia atau tersambar petir). Jalur di hutan cemara ini antara 30-45 derajat.

Perjalanan yang melelahkan sehingga mengharuskan kami untuk sering beristirahat. Seperti kata ibu penjaga pos pendaftaran di bawah, dimana jalur ke pondok mayit tertutup pohon tumbang karena badai maka kami harus berjalan memutar dan tidak mampir ke pondok mayit, langsung ke pondok angin. Kabut yang turun membuat kami terbuai dan mengantuk. Setelah berjalan selama 3 jam, sampailah kami di pos terakhir sebelum puncak, Pondok angin (2900 mdpl). Di pondok angin kami mendirikan tenda untuk bermalam, karena kami akan naik ke puncak besok pagi jam 4. Seperti biasa, di pondok angin kami masak nasi, mi, sarden untuk bahan makan kami. Mengembalikan stamina wajib buat kami.

Minggu 22 maret 2009
Setelah menyiapkan bawaan yang akan kami bawa ke puncak, kami mulai meninggalkan tenda dan barang lainnya di pondok angin. Sesaat setelah melewati batas vegetasi, kami berdoa di memorial saudara kami deden hidayat. Beberapa saat kemudian jalur semakin ekstrim dengan jurang puluhan di kiri dan kanan serta jalan yang sempit, menanjak dan gelap. Menjelang puncak jalur semakin sempit dan mengharuskan kami harus merangkak dengan hati-hati agar tidak terpeleset.

Akhirnya jam 5 ¼ kami telah mencapai puncak raung (3100 mdpl). Sangat mengagumkan!! Puncak raung dengan kalderanya yang seluas hampir 1 km persegi dan kedalamannya sekitar 100 m dari tempat yang kami pijak. Di tengah kaldera terdapat kawah yang mengeluarkan asap putih. Arti raung sendiri adalah suara dari dalam kawah yang terdengar seperti meraung-raung. Pagi yang cerah dan tidak panas membuat kami puas berada di puncak di atas awan ini. Setelah puas jeprat-jepret foto, kami pun bersiap untuk turun.

Beban yang telah berkurang membuat perjalanan turun ini menjadi cepat. Jam 8 kami tiba kembali di pondok angin dan memasak nasi untuk sarapan. Setelah membereskan semuanya, jam ½ 10 kami memulai perjalanan turun kembali. Gerimis mulai turun saat kami tiba di pondok tonyok dan semakin lebat saat kami melewati pondok sumur. Setelah berjalan sekitar 5 jam dari puncak, akhirnya kami sampai di pondok motor.

Dari pondok motor ke desa terakhir tempat kami menitipkan sepeda motor, kami menumpang mobil pengangkut sayur. Setelah pamit ke ibu penjaga pendaftaran, kami melanjutkan perjalanan kembali ke kota jember......PUAS SETELAH MENCAPAI PUNCAK PERTAMA SAYA!!!


Senin, 07 Desember 2009

Catper Kiriman : Camping Ceria Curug Cilember

Udah pernah ke curug Cilember..? udah..? baguuss… saya belom soalnya..
Parah ya,, masak ke curug cilember aja belom pernah..
Tapi tenang aja, teman saya, mbak Ichaelmago, udah pernah kesana, and good for us, dia rela berbagi cerita perjalanannya buat kita.

So, baca – baca dulu yuk gan… Photobucket

Beberapa waktu yang lalu..saya dan beberapa teman saya memutuskan untuk berkemah di Curug Cilember. Kami kesana dengan menggunakan transportasi umum, yaitu bis dari Kampung Rambutan. Perjalanan kesana membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Sesampainya disana, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Menurut info yang kami dapat, dari jalan raya sampai ke Curug Cilember adalah sekitar 3 km. Sebenarnya tersedia ojek, tapi kami memilih untuk berjalan kaki. Selain sehat, juga hemat uang Di tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk shalat. Setelah selesai, kebetulan sekali sebuah angkot lewat. Maka kami pun menyetop angkot tersebut. Tapi sayangnya angkot tersebut tidak kuat menanjak, maka lagi-lagi kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampainya disana, kami ke loket dan melihat daftar harga. Untuk berkemah semalam hanya dikenakan tarif Rp. 12.500. Maka kami membayar, sebelumnya kami diperingatkan oleh penjaga loket agar mendirikan tenda yang terpisah antara wanita dan laki-laki, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah itu, kami langsung mendirikan tenda. Ternyata, teman saya membawa tenda yang kecil! Padahal sebelumnya dia menjamin bahwa tenda yang ia bawa cukup untuk kami semua. Kami terdiri dari 3 laki-laki dan 4 perempuan. Dan nyatanya tenda yang ia bawa hanya cukup untuk 2 orang. Kami pun sepakat untuk menyewa tenda disana. Menyewa tenda yang cukup untuk 4 orang hanya dikenakan biaya sekitar Rp. 80.000. Sudah termasuk 4 sleeping bag dan 1 lampion. Sebenarnya hanya disediakan 2 sleeping bag, tapi karena penjaga-nya berbaik hati, maka kami diberikan 4.
Kami memilih lokasi tenda di dekat Curug 7. Sekedar informasi, disini terdapat 7 curug. Antara curug satu dan lainnya, ada yang berdekatan, ada pula yang harus menempuh berjam-jam perjalanan. Curug 1 sampai 3 adalah curug yang jarang dikunjungi, karena untuk menempuhnya agak sedikit sulit. Terutama bila tidak ada persiapan. Namun warga sekitar sering kesana untuk mengumpulkan kayu.
Alasan kami memilih lokasi di Curug 7 adalah karena dekat dengan mushalla, toilet, pintu masuk, warung warga, dan air terjun. Di mushalla, tersedia 2 buah mukena dan beberapa sajadah serta Al-Qur’an. Air untuk wudhu bukan dari keran, melainkan langsung terpancar dari dinding yang berupa batu-batuan. Di dekat mushalla, terdapat sekitar 7 toilet (saya agak lupa, antara 7 atau 6).
Setelah selesai mendirikan tenda, kami pun bermain ke Curug 7. Disana kami mendapati sekumpulan orang Arab yang sedang berfoto dan juga ada wanita yang berfoto untuk pre-wedding. Kami pun ikut foto-foto disana. Setelah puas berfoto, kami pulang sambil mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun malam harinya.
Saat maghrib tiba, kami pun ke mushalla dan duduk-duduk disana sampai Isya tiba. Setelah itu kami makan-makan dan menghabiskan waktu untuk bermain UNO Langit malam itu sangat cerah sehingga kami bisa melihat bintang-bintang dengan jelas.
Tengah malam, saya terbangun sekitar jam 2 karena perut keroncongan. Ternyata ada teman saya yang terbangun juga. Jadilah kami keluar tenda dan memasak. Udara sangat dingin. Sampai-sampai saya membawa sleeping bag keluar tenda. Saya pun memasak mie rebus sambil menunggu fajar terbit. Kami merasakan sejuknya angin malam sambil sesekali diiringi suara jangkrik dan anjing.
Pagi harinya, setelah melaksanakan ibadah shalat, kami langsung berjalan-jalan sekitar tenda dan menuju ke warung terdekat untuk sekedar minum teh hangat. Kami juga sempat melihat taman kupu-kupu, dimana di dalamnya saya melihat beberapa kupu-kupu yang sedang hinggap di atapnya.
Setelah puas bermain di Curug 7, kami meneruskan perjalanan ke Curug diatasnya. Tidak lupa kami mengunci tenda, lalu membawa sarapan pagi kami. Ya, kami akan makan pagi di Curug. Setelah melalui jalan yang terjal dan licin, sampailah kami di Curug 4, yang tempatnya amat strategis untuk makan-makan. Kami pun menhabiskan sarapan pagi kami, yang walaupun hanya nasi dan secuil ayam, tapi terasa nikmat sekali.
Selesai makan, kami kembali ke tenda dengan menggunakan rute yang berbeda. Ternyata lebih enak rute yang kedua ini, karena sudah diberi batu-batuan sebagai tangga. Rute ini pula yang biasa dipakai warga setempat untuk mencari kayu sampai ke curug 3.
Kami kembali lagi ke curug 7, kali ini untuk mandi, alias basah-basahan. Kami melihat masih banyak orang Arab berseliweran. Mereka berkelompok-kelompok, sepertinya keluarga besar. Ini menunjukkan bahwa tempat wisata ini sudah terkenal dikalangan mereka. Mereka menikmati Curug 7 sambil sesekali berfoto dan bermain air.
Setelah puas bermain air, kami kembali ke tenda lalu mandi dan membereskan tenda. Kami selesai sekitar pukul 10 lalu pulang ke Jakarta. Rute pulang selalu lebih mudah dari rute berangkat. Sebelumnya kami bertanya rute terdekat menuju jalan raya, dan benar saja, rute itu memang agak lebih dekat disbanding rute yang kami ambil saat berangkat. Pemandangan di sepanjang jalannya pun tidak kalah indah. Maka sampailah kami di jalan raya, dan tidak lama kemudian bis menuju Jakarta datang. Kami naik ke dalam bus, lalu sampailah kami di Jakarta. Liburan yang menyenangkan!

Dan ini foto - fotonya
Spoiler:


Istirahat sejenak di perjalanan


Papan selamat datangnya



Mencari kayu untuk api unggun


Bebatuan disekitar curug 7


Wanita arab sedang berkumpul


Uno adalah permainan favorite kami


Curug


Ada kupu lho didalam


Iseng mengumpulkan biji - bijian


sarapan pagi di curug 4





Gimana,,, asik kan.?

Oh ya, kalo mau kenalan sama mbak yang punya catper, maen - maen aja ke blognya..
klik disini
Sabtu, 05 Desember 2009

Napak Tilas Soe Hok Gie 1969-2009

Description
Napak Tilas Soe Hok Gie 1969-2009
Cintailah Kehidupan: Satu pikiran, ucapan, dan perbuatan.
Kami komunitas pencinta alam se-Malang dan Mapala UI mengundang rekan-rekan sekalian untuk turut berpartisipasi dalam peringatan Napak Tilas Soe Hok Gie 1969-2009 'Cintailah kehidupan: Satu pikiran, ucapan, dan perbuatan'.
Napak Tilas Soe Hok Gie 1969-2009

Start Time: Monday, December 7, 2009 at 8:00am
End Time : Sunday, December 20, 2009 at 1:00pm
Location : Kota Malang dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Prolog:

Dan saat nanti, Desember 2009, tepat 40 tahun meninggalnya Soe Hok
Gie, kami –kelompok dan individu penggiat alam bebas, yang beratensi
terhadap ide dan pemikiran Hok Gie– berniat berkumpul mengenang dan
menyoba memahami lebih dalam ide dan pemikiran Soe Hok Gie.

Momen tersebut penting, karena selain semangat Soe Hok Gie masih
relevan di era sekarang ini, kami menyakini bahwa ada satu pesan dari
semangat Hok Gie tersebut yang saat ini bisa diaplikasi secara bersama
untuk menjadi gerakan sosial (social movement).

Kegiatan ini akan dilaksanakan di wilayah Malang, tepatnya di pinggir
Danau Ranu Regulo, Desa Ranu Pani, di kaki Gunung Semeru. Pemilihan
lokasi yang spesifik ini didasarkan pada karakteristik yang unik dari kota
Malang yang dikelilingi oleh gunung-gunung, sehingga banyak tokoh dan
kelompok penggiat alam bebas yang lahir di Malang.
untuk informasi bisa menghubungi MAPALA UI di (021) 78884872